MEMBACA ULANG SEJARAH AS'ADIYAH : MENEGUHKAN KEMBALI PERAN ULAMA/TOPANRITA DALAM MASYARAKAT SULAWESI SELATAN YANG BERHALUAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH


AG. H. H. Muh. Haritshah AS (Pendiri Pesantren An-Nahdhah)
Oleh : Drs. K.H.Muh. Haritsah AS[1]

Sejarah As'adiyah adalah sejarah para ulama dalam memperbaiki umat dan bangsa (Harakatul Ulama fii Sabilillah Ummah). Gerakan ini dimulai ketika Anregurutta Sade membuka pengajian kitab dalam bentuk Halaqah di rumahnya dan kemudian di Masjid.
Sebagaimana halnya cerita sejumlah pesantren di Jawa yang membuka pesantren pertama kali di sebuah daerah hitam, Anregurutta Sade' menjadi kekuatan utama dalam proses Ishlahil Ummah tersebut. Pesantren yang dibangun di tanah Wajo itu bukan hanya ditekankan pada penguasaan ilmu-ilmu keagamaan. Tapi juga memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas. As'adiyah ditujukan untuk melakukan transformasi kultural secara total ditengah masyarakat Bugis waktu itu.
Minat maysarakat untuk mengikuti pengajian tersebut ternyata cukup besar para santrinya kian bertambah, hingga akhirnya dibangunlah madrasah. Generasi pertama murid Anregurutta Sade adalah Haji Ambo Dalle, Haji Daud Ismail, Haji Hobe, Haji Zainal Abidin, Haji Hasanuddin, Haji Langka, Haji Benawa, dan Haji Muhammad Jafar Hamzah. Kemudian menyusul murid-murid lainnya seperti Haji Muhammad Yunus Maratang, Haji Muhammad Abduh Pabbaja, Haji Muhammad Yusuf Hamzah, Haji Muhammad Thahir (Jalang), Abdur Raqib (Palopo), Abbas dan Abdussalam (Sidrap), Haji Mahmud (Soppeng), Haji Mahmud (Bone), Haji Ali (Bone), Haji Nuurdin Safa, Haji Abdur Rahman (Bulu Patila), Haji Yunus (Bone). Menyusul Generasi ke Tiga Haji Muhammad Amin Nashir (Sengkang), haji Muhammad Said (Bone), dan haji Muhammad Yusuf Surur, (Bone).
Ketika wafat pada tahun 1952 M. Anregurutta Sade sudah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pengembangan pendidikan Islam. As'adiyah pun menjadi model bagi pesantren-pesantren yang muncul kemudian, terutama dalam penyiapan calon-calon ulama. Murid-muridnya ini pula yang pada gilirannya menjadi perintis pengembangan Islam di Sulawesi Selatan.
Ulama bukan hanya berperan dalam mendirikan pesantren tetapi juga menjadi pemimpinnya. Kepemimpinan pesantren As'adiyah sejak awal selalu berada ditangan ulama. Ulama sebagai pemimpin merupakan salah satu pilar dari keberadaan pesantren tersebut. Maka, kepemimpinan ulama dalam masyarakat berawal dari kepemimpinan pesantren. Apabila pesantren dapat berkembang dibawah otoritas ulama, berarti kepemimpinan ulama mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat.
Itulah sebabnya mengapa para ulama hasil dididikan As'adiyah disebut sebagai "to panrita" dan diberi gelar "anregurutta" oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Karena mereka adalah ulama yang kharismatik. Mereka dianggap "makaramek" (yang punya karamah). Dan "manini" atau sifat jaga diri (Wara). Sehingga orang-orang Bugis menyebut para ulama sebagai "topanrita maninik", yakni seorang ulama besar yang amat menjaga diri dari segala sesuatu yang mengurangi nilai keulamaannya. Indikasi ulama kharismatik adalah "rienngkalinga Adanna" yaitu, ulama yang didengar kata-katanya. Karena itu seorang ulama kharismatik menjadi penasehat dan Marja' masyarakat dari berbagai lapisan. Pada saat masyarakat mengalami problem agama atau masalah-masalah social yang erat kaitannya dengan agama atau kebudayaan, Maka disinilah peran ulama.
Selain itu, seorang ulama disebut "to panrita manini" manakala ia mampu melakukan perubahan dan menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik dan masyarakat senantiasa menimba nilai-nilai keharmonisan dari mereka. Anregurutta As'ad adalah topanrita karena kemampuannya melakukan perubahan dalam masyarakat dengan adanya lembaga pendidikan As'adiyah. KH. Muhammad Yunus Maratang dianggap kharismatik. Karena kemampuannya  yang luar biasa mengembangkan As'adiyah dan membangun Mesjid Agung Ummul Qura' Sengkang disamping masjid Belawa. KH. Ambo Dalle dianggap kharismatik karena kemampuannya menggerakkan segala potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) bisa berdiri dan berkembang hingga kini. KH. Daud Ismail juga termasuk topanrita karena kemampuannya mempertahankan independensi pribadinya terhadap berbagai kekuatan politik, serta ia mampu menggerakkan potensi yang ia miliki untuk tetap mempertahankan struktur syara' di Daerah Soppeng.
Topanrita inilah yang memungkinkan ajaran-ajaran Ahlusunnah wal Jama'ah diterima dengan baik di kalangan masyarakat Bugis – Makassar, tanpa adanya benturan-benturan yang mengganggu tatanan dan keseimbangan dalam masyarakat. Dalam masyarakat Bugis, ada gambaran ideal tentang manusia Bugis yang disebut sebagai "Sulapa Eppa" yaitu empat kelompok manusia yang saling melengkapi :
1.      To Acca, yaitu Kaum cendekiawan dan Pemerintah
2.      To Panrita, yaitu kaum Ulama
3.      To Sogi, yaitu kaum atau orang-orang kaya yang dermawan.
4.      To Warani, yaitu kaum bangsawan dan pemberani.

Oleh karena itu, pengaruh dari luar diterima sejauh itu mampu memperkuat ajaran ahlussunnah wal Jama'ah dan struktur kelembagaan masyarakat Bugis-Makassar. Tapi, kalau ternyata ada gerakan-gerakan dari luar, seperti Gerakan Kahar Muzakkar dengan Ideologi "Negara Islam-nya", dan mengganggu nilai-nilai ahlussunnah waljamaah dan struktur kelembagaan Bugis Makassar, maka para ulama (to panrita) jelas akan menolaknya.
Karena itu apa yang harus dilakukan oleh As'adiyah ke depan adalah menjadikan dirinya sebagai organisasi yang mempu melakukan perbaikan, baik dalam masalah aqidah, kemasyrakatan, maupun dalam bidang ekonomi. Untuk itu As'adiyah harus berusaha agar dapat menjadi organisasi yang kuat dan mampu melanjutkan tugas-tugas yang diwariskan oleh ulama-ulama pendiri.
Dalam menjalankan tugasnya kedepan, As'adiyah harus mampu berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh berbagai pihak, termasuk pemerintah dan atau pengaruh asing. Ini agar As'adiyah tidak dianggap sebagai organisasi yang hanya menjalankan keinginan pihak-pihak tertentu. Baik secara internal maupun secara eksternal Negara. Oleh karena itu As'adiyah harus mandiri, independen dan tidak berafiliasi dengan pihak manapun.
Di tengah serbuan berbagai serdadu arus informasi, pemikiran dan ideology yang masuk ke Nusantara, sudah saatnya kini As'adiyah perlu berbenah dan mengokohkan dirinya sebagai fail, dan bukan sebagai "maf'ulunn bih".Sebab kini ada kekhawatiran kalau As'adiyah dimasuki paham lain. Kekhawatiran tersebut tidak perlu terlalu dibesarkan, selama kekuatan penggerak As'adiyah adalah ulama (To Panrita).
Para ulama inilah yang menghadapi tantangan global saat ini, kebangkitan fundamentalisme agama dalam baju Wahabi, dan kolonialisme liberal yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia dalam jubbah modernisasi dan liberalism. Yang pertama mengancam kelestarian dan kelangsungan cara beragam umat Islam yang beriorentasi mazhab menurut ajaran Ahlusunnah Waljamaah. Sementara yang kedua mengancam kelangsungan umat Islam sebagai sebuah bangsa yang dipersatukan oleh ikatan tanah air tempat mereka lahir dan berpijak.
Dalam menghadapi dua tantangan global tersebut, As'adiyah harus menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan para ulama untuk memperbaiki umat dan bangsa (harakatul ulama fi ishlahil ummah). Setelah melakukan perbaikan kemasyarakatan melalui pesantren yang dibangunnya, para ulama menyadari betul pentingnya suatu upaya perbaikan dalam arti yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas, yang tidak mungkin dilakukan sendirian.
Jadi, tanggung jawab As'adiyah ke depan ada dua :

1.      Mas'uliyyah Diniyyah Islamiyahadalah tanggung jawab dalam hal keagamaan yang melekat pada diri As'adiyah sejak didirikan.
2.      Mas'uliyyah Wathaniyahadalah tanggung jawab kepada keutuhan bangsa dan negara ini.

Di masa lalu, para ulama Nahdlatul Ulama ketika menghadapi tantangan global yang bernama kelompk Wahabbi dan Kolonialisme-liberal, mereka melakukan penguatan posisi organisasi NU sebagai jamaah dan jami'yyah yang berhaluan Islam Ahlusunnah Waljamaah. Seddangkan kolonialisme-liberal dihadapi dengan Resolusi Jihad yang dilontarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1945 dalam rangka membela agama dan bangsa.
Jadi, peran ulama-to panritaAs'adiyah sebagai faqihun fi mashalilhil khalq dan sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi) adalah mendorong dinamika perkembangan politik, ekonomi dan social-budaya. Ulama juga menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat kita.
Karena di tangan ulama-to panrita-lah, terletak kelangsungan dan masa depan ajaran Ahlusunnah Wal-jamaah di Sulawesi Selatan dan juga kelestarian nilai-nilai Bugis-Makassar.


[1] Pemakalah merupakan salah salah satu Alumni Ponpes As'adiyah yang sekarang ini membina Pondok Pesantren An-Nahdlah di Makassar. Makalah ini disampaikan pada kegiatan Workshop Pengembangan Pesantren As'adiyah di Hotel Ashar Sengkang pada Hari/Tgl Sabtu-Senin, 10-12 Februari 2007

Comments

  1. Assalamu alaikum wrwb....adakah yang tahu peranan K.H. Abdu Rahman Benno yang dari malaysia dalam sejarah berdirinya as adiyah

    ReplyDelete

Post a Comment

Selamat Datang Di Blogspot Saya... semoga bermanfaat!!!

Popular Posts