MEMBACA ULANG SEJARAH AS'ADIYAH : MENEGUHKAN KEMBALI PERAN ULAMA/TOPANRITA DALAM MASYARAKAT SULAWESI SELATAN YANG BERHALUAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH
AG. H. H. Muh. Haritshah AS (Pendiri Pesantren An-Nahdhah) |
Sejarah As'adiyah
adalah sejarah para ulama dalam memperbaiki umat dan bangsa (Harakatul Ulama
fii Sabilillah Ummah). Gerakan ini dimulai ketika Anregurutta Sade membuka
pengajian kitab dalam bentuk Halaqah di rumahnya dan kemudian di Masjid.
Sebagaimana halnya
cerita sejumlah pesantren di Jawa yang membuka pesantren pertama kali di sebuah
daerah hitam, Anregurutta Sade' menjadi kekuatan utama dalam proses Ishlahil
Ummah tersebut. Pesantren yang dibangun di tanah Wajo itu bukan hanya
ditekankan pada penguasaan ilmu-ilmu keagamaan. Tapi juga memiliki fungsi
kemasyarakatan yang lebih luas. As'adiyah ditujukan untuk melakukan
transformasi kultural secara total ditengah masyarakat Bugis waktu itu.
Minat maysarakat untuk
mengikuti pengajian tersebut ternyata cukup besar para santrinya kian
bertambah, hingga akhirnya dibangunlah madrasah. Generasi pertama murid
Anregurutta Sade adalah Haji Ambo Dalle, Haji Daud Ismail, Haji Hobe, Haji
Zainal Abidin, Haji Hasanuddin, Haji Langka, Haji Benawa, dan Haji Muhammad Jafar
Hamzah. Kemudian menyusul murid-murid lainnya seperti Haji Muhammad Yunus
Maratang, Haji Muhammad Abduh Pabbaja, Haji Muhammad Yusuf Hamzah, Haji
Muhammad Thahir (Jalang), Abdur Raqib (Palopo), Abbas dan Abdussalam (Sidrap),
Haji Mahmud (Soppeng), Haji Mahmud (Bone), Haji Ali (Bone), Haji Nuurdin Safa,
Haji Abdur Rahman (Bulu Patila), Haji Yunus (Bone). Menyusul Generasi ke Tiga
Haji Muhammad Amin Nashir (Sengkang), haji Muhammad Said (Bone), dan haji
Muhammad Yusuf Surur, (Bone).
Ketika wafat pada
tahun 1952 M. Anregurutta Sade sudah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat
bagi pengembangan pendidikan Islam. As'adiyah pun menjadi model bagi
pesantren-pesantren yang muncul kemudian, terutama dalam penyiapan calon-calon
ulama. Murid-muridnya ini pula yang pada gilirannya menjadi perintis
pengembangan Islam di Sulawesi Selatan.
Ulama bukan hanya
berperan dalam mendirikan pesantren tetapi juga menjadi pemimpinnya.
Kepemimpinan pesantren As'adiyah sejak awal selalu berada ditangan ulama. Ulama
sebagai pemimpin merupakan salah satu pilar dari keberadaan pesantren tersebut.
Maka, kepemimpinan ulama dalam masyarakat berawal dari kepemimpinan pesantren.
Apabila pesantren dapat berkembang dibawah otoritas ulama, berarti kepemimpinan
ulama mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat.
Itulah sebabnya
mengapa para ulama hasil dididikan As'adiyah disebut sebagai "to
panrita" dan diberi gelar "anregurutta" oleh masyarakat Sulawesi
Selatan. Karena mereka adalah ulama yang kharismatik. Mereka dianggap
"makaramek" (yang punya karamah). Dan "manini" atau sifat
jaga diri (Wara). Sehingga orang-orang Bugis menyebut para ulama sebagai
"topanrita maninik", yakni seorang ulama besar yang amat menjaga diri
dari segala sesuatu yang mengurangi nilai keulamaannya. Indikasi ulama kharismatik
adalah "rienngkalinga Adanna" yaitu, ulama yang didengar
kata-katanya. Karena itu seorang ulama kharismatik menjadi penasehat dan Marja'
masyarakat dari berbagai lapisan. Pada saat masyarakat mengalami problem agama
atau masalah-masalah social yang erat kaitannya dengan agama atau kebudayaan,
Maka disinilah peran ulama.
Selain itu, seorang
ulama disebut "to panrita manini" manakala ia mampu melakukan
perubahan dan menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik dan masyarakat
senantiasa menimba nilai-nilai keharmonisan dari mereka. Anregurutta As'ad
adalah topanrita karena kemampuannya melakukan perubahan dalam masyarakat
dengan adanya lembaga pendidikan As'adiyah. KH. Muhammad Yunus Maratang
dianggap kharismatik. Karena kemampuannya
yang luar biasa mengembangkan As'adiyah dan membangun Mesjid Agung Ummul
Qura' Sengkang disamping masjid Belawa. KH. Ambo Dalle dianggap kharismatik
karena kemampuannya menggerakkan segala potensi yang dimiliki masyarakat,
sehingga Darud Da'wah wal Irsyad (DDI) bisa berdiri dan berkembang hingga kini.
KH. Daud Ismail juga termasuk topanrita karena kemampuannya mempertahankan
independensi pribadinya terhadap berbagai kekuatan politik, serta ia mampu
menggerakkan potensi yang ia miliki untuk tetap mempertahankan struktur syara'
di Daerah Soppeng.
Topanrita inilah yang
memungkinkan ajaran-ajaran Ahlusunnah wal Jama'ah diterima dengan baik di
kalangan masyarakat Bugis – Makassar, tanpa adanya benturan-benturan yang
mengganggu tatanan dan keseimbangan dalam masyarakat. Dalam masyarakat Bugis,
ada gambaran ideal tentang manusia Bugis yang disebut sebagai "Sulapa
Eppa" yaitu empat kelompok manusia yang saling melengkapi :
1. To Acca, yaitu Kaum
cendekiawan dan Pemerintah
2. To Panrita,
yaitu kaum Ulama
3. To Sogi, yaitu
kaum atau orang-orang kaya yang dermawan.
4. To Warani, yaitu
kaum bangsawan dan pemberani.
Oleh karena itu,
pengaruh dari luar diterima sejauh itu mampu memperkuat ajaran ahlussunnah wal
Jama'ah dan struktur kelembagaan masyarakat Bugis-Makassar. Tapi, kalau
ternyata ada gerakan-gerakan dari luar, seperti Gerakan Kahar Muzakkar dengan
Ideologi "Negara Islam-nya", dan mengganggu nilai-nilai ahlussunnah
waljamaah dan struktur kelembagaan Bugis Makassar, maka para ulama (to panrita)
jelas akan menolaknya.
Karena itu apa yang harus
dilakukan oleh As'adiyah ke depan adalah menjadikan dirinya sebagai organisasi
yang mempu melakukan perbaikan, baik dalam masalah aqidah, kemasyrakatan,
maupun dalam bidang ekonomi. Untuk itu As'adiyah harus berusaha agar dapat
menjadi organisasi yang kuat dan mampu melanjutkan tugas-tugas yang diwariskan
oleh ulama-ulama pendiri.
Dalam menjalankan
tugasnya kedepan, As'adiyah harus mampu berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh
berbagai pihak, termasuk pemerintah dan atau pengaruh asing. Ini agar As'adiyah
tidak dianggap sebagai organisasi yang hanya menjalankan keinginan pihak-pihak
tertentu. Baik secara internal maupun secara eksternal Negara. Oleh karena itu
As'adiyah harus mandiri, independen dan tidak berafiliasi dengan pihak manapun.
Di tengah serbuan
berbagai serdadu arus informasi, pemikiran dan ideology yang masuk ke
Nusantara, sudah saatnya kini As'adiyah perlu berbenah dan mengokohkan dirinya
sebagai fail, dan bukan sebagai "maf'ulunn bih".Sebab kini ada
kekhawatiran kalau As'adiyah dimasuki paham lain. Kekhawatiran tersebut tidak
perlu terlalu dibesarkan, selama kekuatan penggerak As'adiyah adalah ulama (To
Panrita).
Para ulama inilah yang
menghadapi tantangan global saat ini, kebangkitan fundamentalisme agama dalam
baju Wahabi, dan kolonialisme liberal yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia
dalam jubbah modernisasi dan liberalism. Yang pertama mengancam kelestarian dan
kelangsungan cara beragam umat Islam yang beriorentasi mazhab menurut ajaran
Ahlusunnah Waljamaah. Sementara yang kedua mengancam kelangsungan umat Islam
sebagai sebuah bangsa yang dipersatukan oleh ikatan tanah air tempat mereka
lahir dan berpijak.
Dalam menghadapi dua
tantangan global tersebut, As'adiyah harus menampilkan dirinya sebagai sebuah
gerakan para ulama untuk memperbaiki umat dan bangsa (harakatul ulama fi
ishlahil ummah). Setelah melakukan perbaikan kemasyarakatan melalui
pesantren yang dibangunnya, para ulama menyadari betul pentingnya suatu upaya
perbaikan dalam arti yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas, yang tidak
mungkin dilakukan sendirian.
Jadi, tanggung jawab
As'adiyah ke depan ada dua :
1. Mas'uliyyah
Diniyyah Islamiyahadalah
tanggung jawab dalam hal keagamaan yang melekat pada diri As'adiyah sejak
didirikan.
2. Mas'uliyyah
Wathaniyahadalah
tanggung jawab kepada keutuhan bangsa dan negara ini.
Di masa lalu, para
ulama Nahdlatul Ulama ketika menghadapi tantangan global yang bernama kelompk
Wahabbi dan Kolonialisme-liberal, mereka melakukan penguatan posisi organisasi
NU sebagai jamaah dan jami'yyah yang berhaluan Islam Ahlusunnah Waljamaah.
Seddangkan kolonialisme-liberal dihadapi dengan Resolusi Jihad yang dilontarkan
oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1945 dalam rangka membela agama dan bangsa.
Jadi, peran ulama-to
panritaAs'adiyah sebagai faqihun fi mashalilhil khalq dan sebagai waratsatul
anbiya (pewaris para Nabi) adalah mendorong dinamika perkembangan politik,
ekonomi dan social-budaya. Ulama juga menjadi sumber inspirasi dalam menjawab
tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat kita.
Karena di tangan
ulama-to panrita-lah, terletak kelangsungan dan masa depan ajaran
Ahlusunnah Wal-jamaah di Sulawesi Selatan dan juga kelestarian nilai-nilai
Bugis-Makassar.
[1]
Pemakalah merupakan salah salah satu Alumni Ponpes As'adiyah yang sekarang ini
membina Pondok Pesantren An-Nahdlah di Makassar. Makalah ini disampaikan pada
kegiatan Workshop Pengembangan Pesantren As'adiyah di Hotel Ashar Sengkang pada
Hari/Tgl Sabtu-Senin, 10-12 Februari 2007
Assalamu alaikum wrwb....adakah yang tahu peranan K.H. Abdu Rahman Benno yang dari malaysia dalam sejarah berdirinya as adiyah
ReplyDelete