Pesantren Modern, Siapa Takut??
Pesantren
merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional
untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup
keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah
menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui
sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga
pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia
pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan
bangsa ini adalah alumni atau
setidak-tidaknya pernah belajar di Pesantren.
Namun
kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat muslim
Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading,
elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini
ditambah lagi dengan problem kelimuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi
(keterasingan) dan diferensiasi (Pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan
dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan
umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan
kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban
tanggung jawab yang tidak ringan bagi
pesantren.
Semakin
disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan
mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama masih relevan dan mengambil
hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu
mengungkap secara cerdas problem kekinian kita dengan pendekatan-pendekatan
kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus
segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigma dan
pandangan dunia yang telah merubah cara pandang
lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.
Dalam
konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insan pesantren adalah mendialogkannya
dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi
pencerahan Islam. Maksudnya, insan Pesantren perlu memposisikan warisan masa
lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang
ditawarkannya. Mereka harus membaca khasanah lama dan baru dalam frame yang
terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu
dihadapkan dengan kondisi kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak
“basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi
yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah
satu hal yang perlu dimodifikasi adalah sistem pendidikan pesantren. System
pembelajaran tradisional, sorogan dan bandongan, balaghan, atau halaqah
seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran Modern. Dalam aspek
kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari
kurikulum yang diterapkan pemerintah.
Secara
bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan PE dan akhiran AN
(pe-santri-an) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkang kata santri
sendiri berasal dari kata sansekerta “sastri” yang berarti melek huruf. Dalam
hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah
kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa
Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari
kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru
kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan
secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia
tradisional Islam. Maksudnya adalah pesantren yang mewarisi dan memelihara
kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kiyai) dari masa ke masa,
tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Di
Indonesia, istilah pesantren lebih popular dengan sebutan pondok pesantren.
Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab, Funduq, yang berarti hotel, asrama,
rumah dan tempat tinggal sederhana.
Dari
terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara cultural pesantren lahir dari
budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah kemudian Cak Nur (Nur Cholis Majid)
berpendapat bahwa secara histories, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna
keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya
sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan,
dan mengislamkannya.
Tentang
bentuk-bentuk pesantren yang tersebar diseluruh Indonesia, beberapa pengamat
mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam, yaitu :
1.
Pesantren
Salafi
Adalah pesantren yang tetap
mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan
pengetahuan Umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan
dalam pesantren salaf, sorogan dan weton. weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kiyai sendiri, baik dalam
menentukan tempat, waktu, maupun kitab-kitanya. Sementara Sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang
atau beberapa orang santri kepada kiyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. Sedangkan
isitilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “Pesantren
Tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek Islam sebagai
warisan sejarah, khususnya dalam bidang
syari’ah dan tasawwuf. Misalnya : pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren
Tarbiyatun Nasyi’in Jombang, dan lain sebagainya.
2.
Pesantren
Khalafi
Adalah pesantren yang menerapkan
system pengajaran yang klasikal (Madrasah), memberikan ilmu pengetahuan umum
dan agama, juga memberikan keterampilan umum. Pesantren jenis ini juga membuka
sekolah-sekolah umum. Misalnya pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Tambak
Beras Jombang, Pesantren Nurul As'adiyah Callaccu, Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dan lain-lain sebagainya.
3.
Pesantren
Kilat
Adalah Pesantren yang berbentuk
semacam training dalam waktu yang relative singkat, dan biasanya dilaksanakan
pada waktu liburan sekolah oleh Pemerintah yang dicanangkan melalui
Sekolah-sekolah umum.
4.
Pesantren
terintegrasi
Adalah pesantren yang lebih
menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai
pelatihan kerja, dengan program yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal
dari kalangan anak putus sekolah.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang
terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanann sejarah yang
panjang, sejak sekitar abad ke 18 M. bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke
13 M. beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur
dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan
didirikannya tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), sehingga inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah pesantren (Tempat anak Santri).
Yang pertama kali memperkenalkan dan mendirikan
pesantren di Indonesia adalah seorang Wali Songo yang bernama Maulana Malik
Ibrahim. Meski bentuk dan penampilannya yang masih sangat sederhana, namun
waktu itu pendidikan melalui pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan
yang terstruktur. Sehingga pada waktu itu pesantren dianggap bergengsi.
Dilembaga inilah kemudian kaum Muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar
islam, khususnya yang menyangkut masalah praktek kehidupan beragama.
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya
sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintahan
colonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat.
Namun pendidikan yang diberikan sangat
terbatas, hanya sekitar 3 % penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97 % penduduk
Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan
mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari
intervensi Belanda serta meberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat
pendidikan.
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami
peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300
buah. Perkembangan tersebut ditenggarai berkat dibukakannya terusan Zues pada
tahun 1869 M. sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti
pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampong halaman, mereka membentuk lembaga
pesantren di daerahnya masing-masing.
Comments
Post a Comment
Selamat Datang Di Blogspot Saya... semoga bermanfaat!!!