Tasawuf dalam Kitab Ihya Ulumuddin

            Perjalanan hidup Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dan gaya pemikiran beliau telah menjadi kajian tersendiri dalam ranah keilmuan dunia hari ini. Salah satunya adalah tentang hubungan tasawuf dengan syariat untuk menjalin keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat telah dicetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru imam al-Ghazali yang secara kongkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. konsepsi al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dengan syariat dalam bukunya yang monumental “Ihya Ulumuddin”.
                  Dari susunan Ihya’ Ulumuddin tergambar pokok-pokok pikiran al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf yakni, Sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan sempurna. Karena dalam hal syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan lain-lainnya, didalam Ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. pada umumnya para penganut tasawuf dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syariat dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lakukan wiridan dalam menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu khasyaf atau penghayatan makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual yang mistik ini harus mampu menahan godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca indera dan anggota badan. Jadi sebagai bangunan sarana penyelarasan hubungan syarat dan tasawuf Ihya’ Ulumuddin merupakan karya monumental yang cukup lengkap dan teliti serta sistematis. Maka wajarlah bahwa baik lantaran pengaruh dan juga pemikir sufisme yang brilian, dan juga karyanya yang agung ini (Ihya’), tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahli syariat dan diterima sebagai bagian dari sistem agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan oleh ummat Islam pada umumnya. Bahkan tasawuf kemudian menyebar dan telah menjadi bagian dari Islam, dan mewarnai pengamalan Islam keseluruh pelosok alam Islam yang berlangsung berabad-abad, sejak abad ketiga belas hingga dewasa ini.[1]
  Syariat dan tasawuf sebagai bagian integral yang tak terpisahkan antara satu dengan dengan yang lainnya, tidak ada tasawuf tanpa syariat[2].
   Al-Qusyairi mengatakan:
  “Tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik  seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan berbuat baik seperti diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib”[3].  

    Kecintaan kepada tasawuf hendaknya tidak mengabaikan syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawuf semakin mendalam pula kewara’anya, kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdah hanyalah untuk orang awam. Seseorang yang sudah mencapai maqam yang paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi syariat. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang semakin besar pula kesetiaanya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapapun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tidak ada satu maqam pun yang dapat bebas dari kewajiban syariat.
Pengaruh yang sangat mendasar ketika al-Ghazali menjadikan syariat sebagai landasan utama dalam hidup tasawuf yang mengikat para sufi sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti shalat dan semua gerakannya bukan sebaliknya.  
Setelah mengarungi lautan hidup yang luas ini yang penuh dengan lika-liku dan tantangan yang begitu luar biasa, menyelami ilmu yang sangat dalam serta perjalanan spritual yang begitu bermakna. Dan pada akhirnya beliau berpulang ke rahmatullah pada tanggal 9 Desember 1111 M. (505 Hijriyah).



[1]. Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),h. 168-170

[2]Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf,(Bandung: Mizan, 2002), h. 218.


[3]. Imam Al-Qusyairi Al-Nisabury, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, terj. Muhammad Lukman Hakim, Risalah Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7. 


Comments

Popular Posts